BENARKAH INDONESIA BUTUH PEMIMPIN BARU?
_Oleh : Ferdinand Hutahaean_
Jakarta, 22 Pebruari 2018
_Oleh : Ferdinand Hutahaean_
Gaduh tak berkesudahan, bantah lisan tak kunjung berakhir, publik
disuguhi polemik tak kunjung usai, kemunduran dimana-mana, ekonomi dan
daya beli terpukul, politik riuh bersahutan dengan tensi tinggi, hukum
seakan mencari jalannya sendiri. Benarkah saat ini Kondisi Indonesia
demikian?
Kebanggaan satu-satunya tentang infrastruktur pun
harus terpukul dengan berita fakta kecelakaan kerja, beton rubuh, tiang
penyangga rubuh dan serba rubuh lainnya yang merenggut nyawa dan
menyisakan luka serta duka yang dalam. Benarkah Indonesia sedang krisis
kepemimpinan?
Gempa bumi bersahutan, Gunung api tak kunjung
berhenti memuntahkan lahar dan debu, laut tak bersahabat dengan
menurunnya produksi ikan, garam pun impor, tanah tak lagi menghasilkan
swasembada pangan, beras, cabe, bawang dan sayur pun impor. Benarkah
tanah bumi pertiwi sedang menunjukkan kegagalan Pemimpin bangsa ini?
Sekian banyak cerita dan narasi tentang kehebatan pemimpin dan para
pembantunya pun bertebaran diproduksi mulai dari istana dan kantor media
yang megah hingga pinggir kaki lima yang dihuni oleh para buzzer
politik, entah mereka dibayar entah karena suka rela, entah karena cinta
buta dan entah karena alasan apapun. Cerita dan narasi hebat itupun
dibangun jauh melampui kehebatan kinerja sang penguasa.
Sah saja,
karena memang setiap orang berhak mendeskripsikan dirinya sesuka hati
dan membangun citra semaunya, toh itu tidak melanggar Undang-undang atau
aturan apapun. Meski etika, kejujuran dan kebenaran ditabrak dan
dihancurkan.
Begitulah sepenggal kisah singkat kondisi bangsa ini
yang boleh saya gambarkan dalam sebuah bentuk pertanyaan. Tentu saya
boleh menggambarkan itu berdasarkan penilaian saya dan ini bukan ujaran
kebencian yang bias dipidana, tapi ini sebuah penglihatan dari sudut
pandang yang berbeda dengan sudut pandang penguasa.
Ketika sudut pandang
penguasa menggambarkan dirinya hebat dan berhasil serta mencapai
kesuksesan yang melampaui para pemimpin terdahulu, maka saya pun boleh
menggambarkan pemimpin dan penguasa sekarang ini gagal, tidak sukses,
dan pemerintahan paling buruk dari seluruh pemerintahan sebelumnya.
Atau dengan Bahasa agak halus, bahwa pemerintah ini hanya besar oleh
cerita-cerita hebat dan narasi – narasi fiksi yang dibangun jauh
melampui realitas kehidupan berbangsa dan bernegara.
Lantas
dari sepenggal sudut pandang itu, benarkah Indonesia sudah saatnya
mengganti pemimpin?
Benarkah Indonesia butuh pemimpin baru?
Pemilu 2019
sudah didepan mata dan memulai tahapan-tahapannya, tentu penggantian
pemimpin yang dimaksud adalah melalui Pemilu dan bukan dijatuhkan
ditengah jalan.
Namun bila jatuh sendiri, itu hal lain dan bukan
perbuatan makar.
Jika jawaban pertanyaan diatas adalah Indonesia belum butuh pemimpin baru, maka sebaiknya Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak perlu melakukan tahapan-tahapan pemilu yang menghabiskan uang trilliunan rupiah.
Jika jawaban pertanyaan diatas adalah Indonesia belum butuh pemimpin baru, maka sebaiknya Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak perlu melakukan tahapan-tahapan pemilu yang menghabiskan uang trilliunan rupiah.
Cukup menyiapkan sebuah surat keputusan memperpanjang
jabatan presiden, murah biayanya dan akan menghemat puluhan trilliun
yang bisa digunakan setidaknya membantu dana kesehatan masyarakat.
Namun jika jawabannya adalah Indonesia perlu pemimpin baru, maka
pertanyaan selanjutnya adalah Siapa orangnya?
Ini jauh lebih menarik
dibahas daripada membahas narasi-narasi hebat dan cerita-cerita fiksi
tentang keberhasilan penguasa.
Bila melihat opini publik saat ini
pertarungan masih diantara Dua nama Pilpres 2014 silam yang menyisakan
polarisasi keras antar anak bangsa.
Namun bila melihat realitas
lanjutan mengacu pada hasil survei lembaga-lembaga survei, ternyata
banyak yang tak ingin lagi Jokowi dan juga tak mau Prabowo. Ada sekitar
30% lebih kelompok ini.
Maka kemana mereka akan mencari harapan baru
dalam demokrasi yang harapannya akan menghasilkan Pemimpin Baru?
Harapan Baru, Pemimpin Baru, itulah kesimpulan singkat saya dari hasil
lembaga-lembaga survei.
Namun ternyata tidak mudah mencari dan
menemukan harapan baru itu ditengah kancah politik nasional yang miskin
kaderisasi estafet kepimpinan.
Yang tua masih mendominasi, padahal
kondisi sekarang tidak lepas dari keputusan politik para yang tua.
Merekalah para yang tua itu sumber kondisi sekarang.
Sudah tepat yang
dilakukan oleh SBY, Ketua Umum Partai Demokrat untuk melakukan estafet
kepemimpinan dengan menyerahkannya kepada yang muda dan melakukan
kaderisasi anak-anak muda.
Melihat fakta itu, sudah saatnya
yang muda menjadi antitesa dari kondisi sekarang, sudah saatnya yang
muda tampil kedepan memimpin bangsa ini.
Ini sama saja dengan
pemotongan generasi sebagaimana selama ini yang sering menjadi salah
satu kesimpulan solusi mengatasi permasalahan bangsa, yaitu pemotongan
generasi.
Maka tampilnya pemimpin muda adalah implementasi pemotongan
generasi. Sudah saatnya yang tua Tutu Wuri Handayani, mendorong dan
membimbing.
Kepada yang tua kami sampaikan, memimpin bangsa
ini berat, kalian sudah tidak kuat, istrahatlah, biarkan kami yang muda
yang memimpin dan mewujudkan masa depan bangsa ini menuju Indonesia
Emas.
Jakarta, 22 Pebruari 2018
Tidak ada komentar: